Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku Dayak, sebenarnya betang rumah adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang adalah refleksi dari kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang tercantum dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka dan duka serta mobilisasi tenaga kerja untuk bekerja di ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah adalah nilai kebersamaan betang (komunalisme) di antara warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita tahu bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan latar belakang etnis, agama atau sosial. Tetapi pada saat ini terlalu banyak orang luar (dan bahkan orang-orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan tidak beradab. Sebenarnya ini adalah kebohongan besar yang diciptakan oleh jangka waktu penjajahan Belanda perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk membagi persatuan dan kesatuan, terutama di kalangan suku Dayak itu sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi budaya betang rumah. Dan kebohongan masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak tahu hak orang Dayak. Misalnya, penulisan karya orang Belanda bernama J. Lameijn berjudul Rising Sun, di mana tulisan perawatan yang sangat merendahkan masyarakat Dayak. Bagian menulis adalah sebagai berikut.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..