Hasil (
Bahasa Indonesia) 1:
[Salinan]Disalin!
A. hubungan antara hukum Islam dan sistem hukum IndonesiaNegara Indonesia bukanlah sebuah negara Islam, sehingga tidak berlaku Syari'at atau disebut oleh negara Khilafah yang melaksanakan hukum Islam. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, itu akan menjadi tidak relevan jika Syari'at Islam berfungsi sebagai ideologi negara. Kenapa bisa begitu? Karena Indonesia adalah negara yang heterogen, bila digunakan sebagai ideologi negara Syari'at Islam kemudian warga negara non-Muslim akan dimasukkan ke dalam lingkungan warga negara kelas dua, dan orang-orang bijaksana atau non-religius ideologi, seperti nasionalis dan sosialis, dan tidak akan mendapatkan posisi terhormat di negara (baca: saya Islam, islam, islam kita). Dari sini, kita akan melihat beberapa perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif, termasuk yang berikut: 1. positif hukum dari Allah yang dibawa oleh Nabi saw. Adalah Ma'shum, sedangkan Allah adalah maha tahu apa saja diperlukan oleh para hamba-Nya bahwa ia memberian hukum yang dapat menyadari manfaat apapun dan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi mereka. Allah tidak perlu dengan hamba-hambanya, 2. bahwa hukum Islam mengatur hubungan antara Allah dan hamba-hambaNya atas dasar agama, yang berdasarkan perhitungan keuntungan ukhrawi dan perbuatan Zahir dan pikiran. Adapun hukum positif tidak memiliki semua itu, tanpa pamrih kecuali perhitungan dan terlihat hanya dan berhubungan dengan orang lain. Jadi, tidak ada filter dikaitkan dengan hati nurani. 3. syariat diperintahkan baik dan mencegah kejahatan. Dia mencakup semua bentuk ebaikan dan termotivasi, melarang jahat dan memperingatkan wantinya. Adapun hukum positif hanya memecahkan masalah kerusakan (hasil negatif) dan rasa bahwa ada baik, itu hanya konsekuensi logis. 4. kadang-kadang positif undang-undang yang mengesahkan melanggar hukum di manfaat manusia. Sementara hukum Islam tidak suka itu karena Allah adalah maha tahu semua yang baik bahkan jika orang tidak tahu. Tetapi dalam kasus ini tidak bahwa hukum positif tidak memiliki keuntungan yang melahirkan manfaat meskipun dibuat oleh manusia persis orang Roma. Tapi kita juga tidak bisa mengatakan, bahwa sistem hukum positif yang kita kenal sekarang ini adalah sepenuhnya tercermin menjadi puncak penampilannya. Sistem hukum ini muncul pada abad ketiga belas dan sejak menjalani perkembangan, perubahan, atau kata-kata pendek mengalami evolusi. Selama evolusi ini ia berkembang, yang menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah. Oleh karena itu kita tidak bisa menyamakan diberikan sistem hukum ini positif dengan hukum Romawi, meskipun ia memang adalah kelanjutan dari hukum. Dalam evolusi yang hukum positif maka banyak yang masuk melalui elemen dari hukum Romawi luar termasuk hukum Islam berpartisipasi dan memberikan kontribusi. Tidak dengan berdiri hukum positif memiliki banyak keuntungan, namun itu bukanlah sekaligus dapat disamakan dengan meningkatkan kualitas keadilan dari, tetapi hanya menyangkut bentuk saja. Selain itu, penggunaan hukum positif tidak segera menghilangkan pekerjaan hukum Islam yang lebih dikenal sebagai sebuah tradisi di Indonesia. Oleh karena itu kita dapat memang berbicara tentang bagian dari dua bentuk berdampingan order, yaitu hukum Islam dapat bekerja diam-diam. Di bawah permukaan hukum positif yang resmi. Pendekatan sosiologis yang memungkinkan kita untuk mengamati itu.B. The kontribusi dari hukum Islam dalam pengembangan sistem hukum IndonesiaPembaruan hukum positif di Indonesia berkembang selama dua sudut pandang yang dianut, yaitu: hukum berfungsi sebagai pengabdian (dienende functie) dan berorentasi ke masa depan. (ius constituendum). Dua cara untuk melihat sangat berpengaruh pada teknik membuat undang-undang pada aspek metodologi dalam menganalisis kasus hukum. Dua sudut pandang sangat berpengaruh pada kontribusi dari hukum Islam terhadap bentuk beton hukum positif Islam di Indonesia. Beberapa undang-undang yang mencerminkan "Roh Syari'at Islam" telah diakomodir sedemikian sebagai bukti positif hukum diberlakukan khusus untuk masyarakat muslim di Indonesia. Seiring dengan perkembangan pembentukan undang-undang yang tidak dapat menjadi jaminan garansi yang didasarkan pada politik dan sosial model pembentukan hukum Islam di Indonesia yang secara hukum disahkan. The formal juridical recognition about the enforcement of Islamic law can be appointed to be a source of law is reflected in the regulations as: Drt No. 1 ACT 1951 Article 5 paragraph (3) of subsection (b) jis. Article 14 paragraph (1) and article 27 of ACT No. 14 of 1970 jis. Article 1 paragraph (3) the concept of the new CRIMINAL CODE. One of the fundamental things that can be held by judges in judging a matter is a healthy feeling of community consideration. Another method that can be done by judges in the application of the Shariah of Islam is to interpret and construct social reality above the law happen through court rulings. Various ways to interpret in real legal science studies into methods in the discovery of the law by judges. This is the creativity Freedom Gold Bridge for Islamic Shari'ah is growing and growing in order of positive law.The process of which connect it can take very influenced by the sejauhmana level of concern and knowledge of the judge against the Islamic Shariah in the corridors is referred to as the "unwritten law" be able to become a quality reference and position themselves as "written law".In the social phenomena that interact with the law society, the factual cases that occur cannot be solved only on the basis of consideration of the law is not written. Law enforcement or related parties (stake holders) who work daily in the field of law in the bureaucracies of the justice system in Indonesia is still guided by the framework of the legal system thought of continental (continental law system/civil law system) is characterized by, among others: bersendikan codification as a source of primary law, unification of law and doktrins res judicata (the judge's decision is only binding on those who dispute only).Legal certainty in this respect be the size for a lawsuit in process or not. The principle of legality (nullum delictum nulla poena sine pravia legi poenali ") is still practised in the legal system in Indonesia be an absolute condition (conditio sine qua non). Puts the real legal certainty can be equated with the principles of justice are procedural (procedure justice) and it is contrary to justice subtantif (subtantive justice) which is the hallmark of the Common Law System or legal system of the Anglo-Saxons. Common Law System grows and develops through judicial practice in the form of the creation of the law by the judge (judge made law). Faced with the question of the contradiction between the principle of legal certainty and the principle of fairness in examining, menganalsis and decide the case law then more judges give precedence to the principle of fairness (subtantif) rather than the certainty of the law (justice procedures). The transformation of the Shari'ah of Islam which was originally the "unwritten law" into "law" is a social engineering activity against the law (Law as a tool of social engineering) as the demands of law enforcement changes that put the Shari'ah of Islam into the aras rule of law. The judge's activity is not a legal method to fill the void as the Islamic Shari'ah is used if no other alternative or no laws regulating (ultimium remedium). The definition of symbolically embraced by peers the group worth scrutinized so that insights more expanded and not stuck in a dikothomi das and das sein sollen.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
