Lecture I: Religion And NeurologyT

Lecture I: Religion And Neurology
T is with no small amount of trepidation that I take my place behind this desk, and
face this learned audience. To us Americans, the experience of receiving instruction
from the living voice, as well as from the books, of European scholars, is very
familiar. At my own University of Harvard, not a winter passes without its harvest,
large or small, of lectures from Scottish, English, French, or German representatives of
the science or literature of their respective countries whom we have either induced to
cross the ocean to address us, or captured on the wing as they were visiting our land. It
seems the natural thing for us to listen whilst the Europeans talk. The contrary habit, of
talking whilst the Europeans listen, we have not yet acquired; and in him who first
makes the adventure it begets a certain sense of apology being due for so
presumptuous an act.

Hasil (Bahasa Indonesia) 1:

Kuliah I: agama dan neurologiT adalah tanpa sedikit keraguan bahwa saya mengambil tempat saya di belakang meja ini, danmenghadapi penonton belajar ini. Kita Amerika, pengalaman menerima instruksidari suara yang hidup, serta dari buku-buku, sarjana Eropa, sangatakrab. Di Universitas Harvard saya sendiri, tidak musim dingin yang berlalu tanpa hasil panen,besar atau kecil, kuliah dari perwakilan Skotlandia, Inggris, Perancis, atau Jermanilmu pengetahuan atau sastra negara mereka masing-masing yang kita telah baik disebabkan untukmenyeberangi lautan ke alamat kami, atau ditangkap di sayap seperti mereka mengunjungi Tanah kami. Itutampaknya hal alami bagi kita untuk mendengarkan sementara Eropa berbicara. Kebiasaan sebaliknya, dariberbicara sambil mendengarkan Eropa, kami memiliki tidak belum diperoleh; dan di dalam dia yang pertamamembuat petualangan itu melahirkan pengertian tertentu permintaan maaf yang jatuh tempo untuk jadilancang undang-undang.