And that identity is threatened by

And that identity is threatened by the sense of not being valued for one's self (one's language is perceived as not good enough), of someone else's language being presented not just as different (so much is obvious) but as better than yours, and of the pervading feeling that whatever you do you will never achieve 'proper' comand over the incoming language, that 'inferiority complex' of which Medgyes (1994: 10) wrote.
One's personal sense of identity is bound up with one's language: this is true both for the social aspects - sharing being a native speaker with others (and the opposite, not sharing it with those who do not belong); and the psycholinguistic aspects - mapping one's way through the BICS and the CALP that are claimed to be necessary to effective cognitive development (Cummins 1984).
This being so, or rather if this is so, then we would expect the growth of English to be condemned as an aspect of post-colonial imperialism because it erodes the pride of native speakerness appertaining to local languages and never somehow replaces it with the gift (or the attainment) of being a native speaker in the acquired and desired English. Here, the stereotyped attitude of the ex-colonialists to themselves, native speakers of English, is not dissimilar to the attitude the British took in their colonial heyday: the attitude that allowed the 'natives' to remain native, that accorded them large measures of local autonomy (indirect rule) but which took for granted that it was never going to be possible for the colonised to become British.

Hasil (Bahasa Indonesia) 1:

Dan bahwa identitas terancam oleh rasa tidak dihargai untuk satu adalah diri (salah satu bahasa yang dianggap tidak baik cukup), orang lain bahasa yang disajikan tidak hanya berbeda (begitu banyak jelas) tetapi sebagai lebih baik daripada milik, dan meresapi perasaan bahwa apa pun yang Anda lakukan Anda tidak pernah akan mencapai 'tepat' comand bahasa masuk , bahwa 'Brawn' yang menulis Medgyes (1994:10).Satu pribadi rasa identitas adalah terikat dengan satu bahasa: hal ini berlaku baik untuk aspek-aspek sosial - berbagi menjadi pembicara asli dengan orang lain (dan yang berlawanan, tidak berbagi dengan orang-orang yang tidak termasuk); dan aspek-aspek psycholinguistic - pemetaan satu jalan melalui BICS dan CALP yang diklaim untuk perlu untuk perkembangan kognitif efektif (Cummins 1984).Makhluk ini jadi, atau lebih tepatnya jika demikian, maka kita harapkan pertumbuhan Inggris untuk dihukum sebagai aspek pasca kolonial imperialisme karena itu mengikis kebanggaan asli speakerness appertaining ke bahasa lokal dan tidak pernah entah bagaimana menggantikan itu dengan hadiah (atau pencapaian) menjadi pembicara asli dalam bahasa Inggris diperoleh dan diinginkan. Di sini, sikap stereotip ex-kolonialis untuk diri mereka sendiri, penutur asli bahasa Inggris, tidak berbeda sikap Inggris mengambil di masa kejayaan masa kolonial: sikap yang diperbolehkan 'pribumi' untuk tetap asli, yang diberikan mereka langkah-langkah besar dari otonomi daerah (indirect rule) tetapi yang mengambil untuk diberikan bahwa itu tidak akan mungkin untuk muncul untuk menjadi British.

Hasil (Bahasa Indonesia) 2:

Dan identitas yang terancam oleh rasa tidak dihargai untuk diri seseorang (bahasa seseorang dianggap sebagai tidak cukup baik), bahasa orang lain yang disajikan bukan hanya sebagai berbeda (begitu banyak jelas) tetapi sebagai lebih baik dari Anda, dan dari yang melingkupi perasaan bahwa apa pun yang Anda lakukan Anda tidak akan pernah mencapai 'tepat' perintah atas bahasa yang masuk, yang 'rendah diri' yang Medgyes (1994: 10). menulis
seseorang rasa pribadi identitas terikat dengan bahasa seseorang: ini benar baik untuk aspek sosial - berbagi menjadi pembicara asli dengan orang lain (dan sebaliknya, tidak berbagi dengan orang-orang yang tidak termasuk); dan aspek psikolinguistik -. pemetaan cara seseorang melalui BIC dan CALP yang diklaim diperlukan untuk perkembangan kognitif yang efektif (Cummins 1984)
ini menjadi begitu, atau lebih tepatnya jika memang demikian, maka kita akan mengharapkan pertumbuhan Bahasa Inggris menjadi mengutuk sebagai aspek imperialisme pasca-kolonial karena mengikis kebanggaan speakerness asli yang mendekati bahasa lokal dan tidak pernah entah bagaimana menggantikannya dengan hadiah (atau pencapaian yang) menjadi pembicara asli dalam bahasa Inggris yang diperoleh dan diinginkan. Di sini, sikap stereotip dari mantan penjajah untuk diri mereka sendiri, penutur asli bahasa Inggris, tidak berbeda dengan sikap Inggris mengambil di masa kejayaan kolonial mereka: sikap yang memungkinkan 'pribumi' untuk tetap asli, yang diberikan mereka langkah-langkah besar otonomi daerah (pemerintahan tidak langsung) tetapi yang mengambil begitu saja bahwa itu tidak pernah akan mungkin untuk terjajah menjadi British.