Pendahuluan Hepatitis C merupakan penyakit yang penting karena bertang terjemahan - Pendahuluan Hepatitis C merupakan penyakit yang penting karena bertang Bahasa Indonesia Bagaimana mengatakan

Pendahuluan Hepatitis C merupakan p

Pendahuluan
Hepatitis C merupakan penyakit yang penting karena bertanggung jawab atas sekitar 90% hepatitis pasca transfusi dan diduga 3% populasi dunia telah terinfeksi virus hepatitis C yang mempunyai masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-26 minggu). Hepatitis C kronis menjadi penyebab utama dari Sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler. Hepatitis C Virus (HCV) diidentifikasi pertama kali pada tahun l998 dan merupakan penyebab utama dari hepatitis non- A, non- B.
Sebelum ditemukannya tes serologis untuk hepatitis C, diagnosis hepatitis non-A non-B ditegakkan atas eksklusi hepatitis A, hepatitis B dan kemungkinan penyebab hepatitis lain. Virus hepatitis C merupakan virus RNA beruntai tunggal termasuk famili Flaviviridae. Genom HCV ditemukan pada tahun 1989 oleh Choo dkk. Karena struktur genom HCV yang sangat heterogen dan mudah mengadakan mutasi maka mudah terjadi variasi perjalanan klinik infeksi HCV, respon terapi anti virus yang kurang baik dan sulitnya pembuatan vaksin. Keberhasilan terapi anti virus terhadap infeksi HCV lebih rendah dibandingkan dengan terapi hepatitis virus B dan angka relapsnya lebih tinggi.
Peranan laboratorium pada penyakit ini yaitu untuk mencegah penularan penyakit, menegakkan diagnosis, memantau perjalanan penyakit, memonitor respon pengobatan dan memperkirakan prognosis.


Pemeriksaan Laboratorium
Pada Infeksi Hepatitis C Virus
A.Pemeriksaan Biokimia B.Pemeriksaan Penyaring
(Screening Test)
C. Tes Konfirmasi
D. Penentuan Genotipe HCV

A. Pemeriksaan Biokimia. Pada pemeriksaan darah
terlihat adanya peningkatan bilirubin, alkali fosfatase dan transaminase. Serum transaminase terutama Serum Alanine Amino Transferase (ALT = SGPT) terjadi kenaikan yang bervariasi, kemudian menurun diatas nilai normal atau terus meningkat berfluktuasi, kadangkadang naik dan kadang-kadang turun tidak menentu.
Pada umumnya gejala
klinis hepatitis virus C akut sukar dibedakan dengan gejala hepatitis virus B dan infeksi virus akut lainnya,dan lebih dari 50% penderita menunjukkan peningkatan tes faal hati. Pada hepatitis C akut peningkatan ALT terjadi 7-8 minggu setelah infeksi dan peningkatan bisa mencapai 10 - 15 kali nilai normal.
Yang khas adalah pada hepatitis virus C kronis dimana pola peningkatan enzim ALT (SGPT) yang bersifat polifasik, turun naik (seperti “yo yo“) selama 6 bulan atau lebih. Puncak peningkatan SGPT umumnya tidak setinggi hepatitis B, sedangkan peningkatan enzim-enzim lainnya mirip dengan hepatitis virus B.
Sebelum ditemukannya petanda serologis yang spesifik, apabila terjadi kenaikan serum transaminase sedikitnya dua kali diatas nilai normal pada dua kali pemeriksaan secara terpisah memiliki nilai diagnostik yang penting yaitu apabila tidak ditemukan adanya sebab lain yang dapat menyebabkan peningkatan enzim tersebut jelas antara lain adanya paparan oleh bahan toksik, obat-obatan atau secara serologis terhadap adanya infeksi hepatitis lain.

B. Pemeriksaan Penyaring (Screening Test).
Pemeriksaan Antibody spesifik yaitu Anti HCV bisa dilakukan dengan cara RIA (Radio Immuno Assay) atau EIA (= ELISA/Enzyme Linked Immuno
Assay). Cara tersebut dengan antigen utama C 100-3 yang disintesis melalui rekayasa DNA terhadap kultur ragi. Antigen yang telah dilapiskan pada fase padat, kemudian direaksikan dengan antibodi yang terdapat dalam serum. Pengukuran dilakukan dengan antigen kedua yang telah dilabel. Antibodi terhadap HCV yang dinilai adalah Immunoglobulin anti HCV.
1. Tes anti-HCV ELISA generasi pertama hanya memakai satu antigen saja yaitu C 1003. Tes ini kurang sensitif
(sensitivitasnya adalah 80%90% dibandingkan dengan generasi kedua). Hasil positif palsu untuk tes generasi pertama dapat terjadi pada penderita dengan hipergammaglobulinemia dan adanya faktor rheumatoid. ELISA generasi kedua selain antigen C 100-3, digunakan pula dua antigen tambahan yaitu protein C-22 dan C-33 dari inti (core) dan NS-3 protein. Tes anti HCV generasi kedua ini lebih sensitif dan lebih spesifik dalam mendeteksi antibodi infeksi hepatitis virus C (sensitivitas mendekati 99%).
ELISA generasi ketiga telah dilakukan pada tahun 1994 dengan penambahan NS-5, terbukti anti HCV generasi ketiga lebih sensitif dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tes ini memakai serum atau plasma yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi dengan bead yang telah dilapisi dengan antigen HCV. Bila terdapat antibodi didalam serum, maka immunoglobulin penderita akan terikat dengan bead tadi dan dapat dideteksi.
2. Recombinant Immunoblot Assay (RIBA).
Suatu tes terhadap protein virus C hepatitis yaitu dengan cara Recombinant Immunoblot Assay (RIBA) yang prinsipnya adalah suatu immunoelektroforesis untuk mendeteksi antibodi virus C hepatitis.
RIBA berupa strip Nitrocellulose yang mengandung pita-pita (bands) yang dilapisi antigen-antigen spesifik dan kemudian direaksikan dengan serum pasien. a.RIBA 1. RIBA 1 menggunakan antigen rekombinan C 1003, 5-1-1 dan superoxide dismutase (SOD), suatu enzim untuk mempertinggi efisiensi cloning. RIBA 1 dilaporkan lebih sensitif dan lebih spesifik dari ELISA 1.
b. RIBA 2. RIBA 2 menggunakan antigen rekombinan C 1003, 5-1-1, SOD, C-33c dan C-22. RIBA 2 lebih sensitif (sensitifitas 98%) dan lebih spesifik dari RIBA 1.
Penambahan antigen rekombinan C-33c dan C22 pada RIBA 2 ternyata mempertinggi sensitifitas.
c. RIBA 3.
RIBA 3 menggunakan 2 macam antigen yaitu antigen Sinthetic peptides C 100-3 dan C-22 dan antigen rekombinan C-33c dan NS-5. RIBA 3 dilaporkan lebih sensitif dari
RIBA 2 karena penambahan sinthetic peptides.
(Wibisono, 2000).

Walaupun RIBA lebih spesifik dari ELISA, RIBA bukan merupakan “True Confirmation Test” karena menggunakan antigen yang sama seperti yang digunakan pada tes ELISA, terutama C 100-3. Lebih tepat bila tes RIBA disebut sebagai “Supplemental Test”.
Sebenarnya Anti HCV baru positif sekitar 15 minggu setelah infeksi terjadi, sehingga mengakibatkan Hepatitis C akut jarang terdiagnosis dan diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan HCV RNA dengan metode PCR pada permulaan penyakit. Anti HCV pada umumnya akan menghilang dengan sembuhnya penyakit. Kurang lebih 70-85% hepatitis C akut akan berkembang menjadi hepatitis C kronik, dan pada keadaan ini Anti-HCV tidak akan menghilang.
Sebelum dilakukan uji saring, Anti HCV terdapat pada 80 –90% penderita hepatitis pasca transfusi. Perjalanan penyakit Hepatitis C yang cenderung menjadi sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler membuat uji saring darah donor sangat berguna karena dapat menurunkan kejadian hepatitis C sebanyak 50 – 80%. (Zuraida , 2000).

Tes penyaring untuk hepatitis C perlu dilakukan pada:
a. Penderita yang pernah mendapat transfusi darah atau produk darah sebelum adanya ELISA generasi kedua.
b. Penderita haemofilia.
c. Pasien yang telah di hemodialisis.
d. Anak dari ibu penderita hepatitis C.
e. Pernah atau masih menggunakan obat-obat intravena.
f. Donor transplantasi organ maupun jaringan. Menurut Consensus Statement EASL, 1999.
g. Tes ELISA merupakan tes yang terbaik untuk penyaring karena mudah dilakukan dan tidak terlalu mahal. Hasil tes dapat dipercaya pada kebanyakan pasien immunokompeten yang mereplikasi hepatitis C virus. Tes ini kurang sensitif pada pasien hemodialisis dan immunokompromais. Pada uji saring bank darah positif palsu bisa terjadi pada 25% donor dan perlu dilakukan supplemental test seperti RIBA. Apabila perlu maka dilanjutkan dengan HCV RNA kualitatif untuk konfirmasi Anti HCV yang positif tersebut.

Pada populasi risiko tinggi dimana diduga menderita HCV, ELISA yang positif harus dikonfirmasi dengan tes RNA kualitatif.
Pada pasien dengan hepa-titis akut, tes ELISA harus dila-kukan dulu. Kalau tes hepatitis A dan B negatif, maka harus di-lakukan tes HCV RNA kua-litatif.
Pada pasien hepatitis kronis tanpa diketahui sebabnya dengan ELISA negatif terutama pasien hemodialisis dan immunokompromais, harus dilakukan tes HCV RNA.
Sebenarnya terdapat dua macam anti HCV, yaitu IgM Anti HCV dan IgG Anti HCV. Selama infeksi HCV akut, antibodi yang pertama terdeteksi adalah IgM Anti HCV yang kemudian akan berkurang dengan timbulnya IgG Anti HCV. Namun IgM Anti HCV seringkali menetap apabila infeksi menjadi kronis dan ini menandakan adanya replikasi aktif dari virus. (Setiabudi, 1996).
Peneliti lain menyatakan bahwa kepentingan pemeriksaan IgM Anti HCV masih diragukan karena pada kenyataannya IgM Anti HCV ditemukan pada 50– 93% Hepatitis C Akut tetapi juga pada 50–70% penderita Hepatitis C Kronis.
Oleh karena itu IgM Anti HCV tidak dapat dipakai sebagai petanda serologis yang dapat dipercaya pada infeksi Hepatitis C Akut. (Pawlotsky,
1999).

C. Tes Konfirmasi.
Pemeriksaan HCV RNA. Kalau pemeriksaan Anti HCV merupakan pemeriksaan antibodi, maka pemeriksaan antigen dilakukan dengan memeriksa HCV-RNA yang dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode biologi molekuler seperti PCR dan branched-DNA (b-DNA). PCR merupakan metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi target RNA atau DNA. Dalam hal ini sejumlah kecil RNA/DNA virus diperbanyak terlebih dahulu sebelum dideteksi, sehingga metode ini sangat sensitif.
b-DNA merupakan metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi signal yang dihasilkan. Dengan adanya molekul penguat (b-DNA), maka signal yang dideteksi akan diperkuat.
Manfaat pemeriksaan
HCV RNA diantaranya adalah untuk menentukan tingkat aktivitas penyakit secara kuantitatif pada penderita hepatitis C kronis, membantu menentukan prognosis setelah pengobatan dengan α-interferon, mengukur respon penderita hepatitis C kronis terhadap pengobatan αinterferon dan merupakan pemeriksaan tambahan terhadap pemeriksaan fungsi hati, sejarah klinis dan studi serologis dalam evaluasi hepatitis C.
Satu-satunya cara untuk menentukan adanya viremia adalah dengan deteksi HCV-RNA menggunakan cara Reversed Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Ca
0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Bahasa Indonesia) 1: [Salinan]
Disalin!
Pendahuluan Hepatitis C likuid penyakit yang penting karena bertanggung jawab atas sekitar 90% hepatitis pasca transfusi dan diduga 3% populasi dunia tlah terinfeksi virus hepatitis C yang mempunyai masa inkubasi sekitar 7 minggu (minggu 2-26). Hepatitis C kronis menjadi penyebab utama dari Sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler. Virus Hepatitis C (HCV) diidentifikasi pertama kali pada tahun l998 dan likuid penyebab utama dari hepatitis A bebas, bebas-B. Sebelum ditemukannya tes serologis untuk hepatitis C, diagnosis hepatitis bebas-A-B ditegakkan atas eksklusi hepatitis A, hepatitis B dan kemungkinan penyebab hepatitis berbaring. Virus hepatitis C likuid virus RNA beruntai tunggal termasuk famili Flaviviridae. Genom HCV ditemukan pada tahun 1989 oleh Choo dkk. Karena struktur baja genom HCV yang sangat heterogen dan mudah mengadakan mutasi maka mudah terjadi teknik dalam klinik infeksi HCV, respon terapi anti virus yang kurang baik dan sulitnya pembuatan vaksin. Keberhasilan terapi anti virus terhadap infeksi HCV lebih rendah dibandingkan dengan terapi hepatitis virus B dan angka relapsnya lebih tinggi. Peranan laboratorium pada penyakit ini berlaku untuk mencegah penularan penyakit, menegakkan diagnosis, memantau dalam penyakit, memonitor respon pengobatan dan memperkirakan prognosis. Pemeriksaan Laboratorium Pada Infeksi Virus Hepatitis C A.Pemeriksaan Biokimia B.Pemeriksaan Penyaring (Screening Test) C. Tes Konfirmasi D. Penentuan Genotipe HCV A. Pemeriksaan Biokimia. Pada pemeriksaan darah terlihat adanya peningkatan bilirubin, alkali fosfatase dan transaminase. Serum transaminase terutama Serum Alanine Amino Transferase (ALT = SGPT) terjadi kenaikan yang bervariasi, kemudian menurun diatas nilai normal atau terus meningkat berfluktuasi, kadangkadang naik dan kadang-kadang turun tidak menentu. Pada umumnya gejala klinis hepatitis virus C akut sukar dibedakan dengan gejala hepatitis virus B dan infeksi virus akut lainnya,dan lebih dari 50% penderita menunjukkan peningkatan tes faal hati. Pada hepatitis C akut peningkatan ALT terjadi 7-8 minggu setelah infeksi dan peningkatan bisa mencapai 10 - 15 kali nilai normal. Yang khas adalah pada hepatitis virus C kronis dimana pola peningkatan enzim ALT (SGPT) yang bersifat polifasik, turun naik (seperti “yo yo“) selama 6 bulan atau lebih. Puncak peningkatan SGPT umumnya tidak setinggi hepatitis B, sedangkan peningkatan enzim-enzim lainnya mirip dengan hepatitis virus B. Sebelum ditemukannya petanda serologis yang spesifik, apabila terjadi kenaikan serum transaminase sedikitnya dua kali diatas nilai normal pada dua kali pemeriksaan secara terpisah memiliki nilai diagnostik yang penting yaitu apabila tidak ditemukan adanya sebab lain yang dapat menyebabkan peningkatan enzim tersebut jelas antara lain adanya paparan oleh bahan toksik, obat-obatan atau secara serologis terhadap adanya infeksi hepatitis lain.B. Pemeriksaan Penyaring (tes skrining). Pemeriksaan antibodi spesifik berlaku Anti HCV bisa dilakukan dengan cara RIA (Radio Immuno Assay) atau EIA (= ELISA enzim Immuno terkait Assay). Cara tersebut dengan antigen utama C 100-3 yang disintesis melalui rekayasa DNA terhadap kultur ragi. Antigen yang tlah dilapiskan pada dalam fase padat, kemudian terjadi direaksikan dengan antibodi yang terdapat dalam serum. Pengukuran dilakukan dengan antigen kedua yang tlah dilabel. Antibodi terhadap HCV yang dinilai adalah imunoglobulin anti HCV. 1. Tes anti-HCV ELISA generasi pertama hanya memakai satu antigen saja berlaku C 1003. Tes ini kurang sensitif (sensitivitasnya adalah 80% 90% dibandingkan dengan generasi kedua). Hasil positif palsu untuk tes generasi pertama dapat terjadi pada penderita dengan hipergammaglobulinemia dan adanya faktor rematik. ELISA generasi kedua Selain itu antigen C 100-3, digunakan pula dua antigen tambahan berlaku protein C-22 dan C-33 dari inti (core) dan NS-3 protein. Tes anti HCV generasi kedua ini lebih sensitif dan lebih spesifik dalam mendeteksi antibodi infeksi hepatitis virus C (sensitivitas mendekati 99%). ELISA generasi ketiga tlah dilakukan pada tahun 1994 dengan penambahan NS-5, terbukti anti HCV generasi ketiga lebih sensitif dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tes ini memakai serum atau plasma yang tlah diencerkan, kemudian terjadi diinkubasi dengan manik-manik yang tlah dilapisi dengan antigen HCV. Bila terdapat antibodi didalam serum, maka antibodi penderita akan terikat dengan manik-manik tadi dan dapat dideteksi. 2. rekombinan Immunoblot Assay (RIBA). Suatu tes terhadap protein virus C hepatitis berlaku dengan cara rekombinan Immunoblot Assay (RIBA) yang prinsipnya adalah suatu immunoelektroforesis untuk mendeteksi antibodi virus C hepatitis. RIBA berupa strip Nitrocellulose yang mengandung pita-pita (band) yang dilapisi antigen-antigen spesifik dan kemudian terjadi direaksikan dengan serum pasien. a.RIBA 1. RIBA 1 menggunakan antigen rekombinan 1003 C, 5-1-1 dan superoksida dismutase (SOD), suatu enzim untuk mempertinggi efisiensi kloning. RIBA 1 dilaporkan lebih sensitif dan lebih spesifik dari ELISA 1. b. RIBA 2. RIBA 2 menggunakan antigen rekombinan 1003 C, 5-1-1, SOD, C - 33c dan C-22. RIBA 2 lebih sensitif (sensitifitas 98%) dan lebih spesifik dari RIBA 1. Penambahan antigen rekombinan C - 33c dan c 22 pada RIBA 2 ternyata mempertinggi sensitifitas. c. RIBA 3. RIBA 3 menggunakan 2 macam antigen berlaku antigen Sinthetic peptida C 100-3 dan C-22 dan antigen rekombinan C - 33c dan NS-5. RIBA 3 dilaporkan lebih sensitif dari RIBA 2 karena penambahan sinthetic peptide. (Wibisono, 2000). Walaupun RIBA lebih spesifik dari ELISA, RIBA bukan likuid "Konfirmasi ujian sejati" karena menggunakan antigen yang sama seperti yang digunakan pada tes ELISA, terutama keaslian C 100-3. Lebih tepat bila tes RIBA disebut sebagai "Tambahan Test". Sebenarnya Anti HCV baru positif sekitar 15 minggu setelah infeksi terjadi, sehingga mengakibatkan Hepatitis C akut jarang terdiagnosis dan diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan HCV RNA dengan metode PCR pada permulaan penyakit. Anti HCV pada umumnya akan menghilang dengan sembuhnya penyakit. Kurang lebih 70-85% hepatitis C akut akan berkembang menjadi hepatitis C kronik, dan pada keadaan ini Anti-HCV tidak akan menghilang. Sebelum dilakukan uji saring, Anti HCV terdapat pada 80 –90% penderita hepatitis pasca transfusi. Dalam penyakit Hepatitis C yang cenderung menjadi sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler membuat uji saring darah donor sangat berguna karena dapat menurunkan kejadian hepatitis C sebanyak 50-80%. (Zuraida, 2000). Tes penyaring untuk hepatitis C perlu dilakukan pada: a. Penderita yang pernah mendapat transfusi darah atau produk darah sebelum adanya ELISA generasi kedua. b. Penderita haemofilia. c. Pasien yang tlah di hemodialisis. d. Anak dari ibu penderita hepatitis C. e. Pernah atau masih menggunakan obat-obat intravena. f. donor transplantasi organ maupun jaringan. Menurut konsensus pernyataan EASL, 1999. g. Tes ELISA merupakan tes yang terbaik untuk penyaring karena mudah dilakukan dan tidak terlalu mahal. Hasil tes dapat dipercaya pada kebanyakan pasien immunokompeten yang mereplikasi hepatitis C virus. Tes ini kurang sensitif pada pasien hemodialisis dan immunokompromais. Pada uji saring bank darah positif palsu bisa terjadi pada 25% donor dan perlu dilakukan supplemental test seperti RIBA. Apabila perlu maka dilanjutkan dengan HCV RNA kualitatif untuk konfirmasi Anti HCV yang positif tersebut. Pada populasi risiko tinggi dimana diduga menderita HCV, ELISA yang positif harus dikonfirmasi dengan tes RNA kualitatif. Pada pasien dengan hepa-titis akut, tes ELISA harus dila-kukan dulu. Kalau tes hepatitis A dan B negatif, maka harus di-lakukan tes HCV RNA kua-litatif. Pada pasien hepatitis kronis tanpa diketahui sebabnya dengan ELISA negatif terutama pasien hemodialisis dan immunokompromais, harus dilakukan tes HCV RNA. Sebenarnya terdapat dua macam anti HCV, yaitu IgM Anti HCV dan IgG Anti HCV. Selama infeksi HCV akut, antibodi yang pertama terdeteksi adalah IgM Anti HCV yang kemudian akan berkurang dengan timbulnya IgG Anti HCV. Namun IgM Anti HCV seringkali menetap apabila infeksi menjadi kronis dan ini menandakan adanya replikasi aktif dari virus. (Setiabudi, 1996). Peneliti lain menyatakan bahwa kepentingan pemeriksaan IgM Anti HCV masih diragukan karena pada kenyataannya IgM Anti HCV ditemukan pada 50– 93% Hepatitis C Akut tetapi juga pada 50–70% penderita Hepatitis C Kronis. Oleh karena itu IgM Anti HCV tidak dapat dipakai sebagai petanda serologis yang dapat dipercaya pada infeksi Hepatitis C Akut. (Pawlotsky, 1999). C. Tes Konfirmasi. Pemeriksaan HCV RNA. Kalau pemeriksaan Anti HCV merupakan pemeriksaan antibodi, maka pemeriksaan antigen dilakukan dengan memeriksa HCV-RNA yang dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode biologi molekuler seperti PCR dan branched-DNA (b-DNA). PCR merupakan metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi target RNA atau DNA. Dalam hal ini sejumlah kecil RNA/DNA virus diperbanyak terlebih dahulu sebelum dideteksi, sehingga metode ini sangat sensitif. b-DNA merupakan metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi signal yang dihasilkan. Dengan adanya molekul penguat (b-DNA), maka signal yang dideteksi akan diperkuat. Manfaat pemeriksaan HCV RNA diantaranya adalah untuk menentukan tingkat aktivitas penyakit secara kuantitatif pada penderita hepatitis C kronis, membantu menentukan prognosis setelah pengobatan dengan α-interferon, mengukur respon penderita hepatitis C kronis terhadap pengobatan αinterferon dan merupakan pemeriksaan tambahan terhadap pemeriksaan fungsi hati, sejarah klinis dan studi serologis dalam evaluasi hepatitis C. Satu-satunya cara untuk menentukan adanya viremia adalah dengan deteksi HCV-RNA menggunakan cara Reversed Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Ca
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Bahasa Indonesia) 2:[Salinan]
Disalin!
Pendahuluan
Hepatitis C merupakan penyakit yang penting karena bertanggung jawab atas sekitar 90% hepatitis pasca transfusi dan diduga 3% populasi dunia telah terinfeksi virus hepatitis C yang mempunyai masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-26 minggu). Hepatitis C kronis menjadi penyebab utama dari Sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler. Hepatitis C Virus (HCV) diidentifikasi pertama kali pada tahun l998 dan merupakan penyebab utama dari hepatitis non- A, non- B.
Sebelum ditemukannya tes serologis untuk hepatitis C, diagnosis hepatitis non-A non-B ditegakkan atas eksklusi hepatitis A, hepatitis B dan kemungkinan penyebab hepatitis lain. Virus hepatitis C merupakan virus RNA beruntai tunggal termasuk famili Flaviviridae. Genom HCV ditemukan pada tahun 1989 oleh Choo dkk. Karena struktur genom HCV yang sangat heterogen dan mudah mengadakan mutasi maka mudah terjadi variasi perjalanan klinik infeksi HCV, respon terapi anti virus yang kurang baik dan sulitnya pembuatan vaksin. Keberhasilan terapi anti virus terhadap infeksi HCV lebih rendah dibandingkan dengan terapi hepatitis virus B dan angka relapsnya lebih tinggi.
Peranan laboratorium pada penyakit ini yaitu untuk mencegah penularan penyakit, menegakkan diagnosis, memantau perjalanan penyakit, memonitor respon pengobatan dan memperkirakan prognosis.


Pemeriksaan Laboratorium
Pada Infeksi Hepatitis C Virus
A.Pemeriksaan Biokimia B.Pemeriksaan Penyaring
(Screening Test)
C. Tes Konfirmasi
D. Penentuan Genotipe HCV

A. Pemeriksaan Biokimia. Pada pemeriksaan darah
terlihat adanya peningkatan bilirubin, alkali fosfatase dan transaminase. Serum transaminase terutama Serum Alanine Amino Transferase (ALT = SGPT) terjadi kenaikan yang bervariasi, kemudian menurun diatas nilai normal atau terus meningkat berfluktuasi, kadangkadang naik dan kadang-kadang turun tidak menentu.
Pada umumnya gejala
klinis hepatitis virus C akut sukar dibedakan dengan gejala hepatitis virus B dan infeksi virus akut lainnya,dan lebih dari 50% penderita menunjukkan peningkatan tes faal hati. Pada hepatitis C akut peningkatan ALT terjadi 7-8 minggu setelah infeksi dan peningkatan bisa mencapai 10 - 15 kali nilai normal.
Yang khas adalah pada hepatitis virus C kronis dimana pola peningkatan enzim ALT (SGPT) yang bersifat polifasik, turun naik (seperti “yo yo“) selama 6 bulan atau lebih. Puncak peningkatan SGPT umumnya tidak setinggi hepatitis B, sedangkan peningkatan enzim-enzim lainnya mirip dengan hepatitis virus B.
Sebelum ditemukannya petanda serologis yang spesifik, apabila terjadi kenaikan serum transaminase sedikitnya dua kali diatas nilai normal pada dua kali pemeriksaan secara terpisah memiliki nilai diagnostik yang penting yaitu apabila tidak ditemukan adanya sebab lain yang dapat menyebabkan peningkatan enzim tersebut jelas antara lain adanya paparan oleh bahan toksik, obat-obatan atau secara serologis terhadap adanya infeksi hepatitis lain.

B. Pemeriksaan Penyaring (Screening Test).
Pemeriksaan Antibody spesifik yaitu Anti HCV bisa dilakukan dengan cara RIA (Radio Immuno Assay) atau EIA (= ELISA/Enzyme Linked Immuno
Assay). Cara tersebut dengan antigen utama C 100-3 yang disintesis melalui rekayasa DNA terhadap kultur ragi. Antigen yang telah dilapiskan pada fase padat, kemudian direaksikan dengan antibodi yang terdapat dalam serum. Pengukuran dilakukan dengan antigen kedua yang telah dilabel. Antibodi terhadap HCV yang dinilai adalah Immunoglobulin anti HCV.
1. Tes anti-HCV ELISA generasi pertama hanya memakai satu antigen saja yaitu C 1003. Tes ini kurang sensitif
(sensitivitasnya adalah 80%90% dibandingkan dengan generasi kedua). Hasil positif palsu untuk tes generasi pertama dapat terjadi pada penderita dengan hipergammaglobulinemia dan adanya faktor rheumatoid. ELISA generasi kedua selain antigen C 100-3, digunakan pula dua antigen tambahan yaitu protein C-22 dan C-33 dari inti (core) dan NS-3 protein. Tes anti HCV generasi kedua ini lebih sensitif dan lebih spesifik dalam mendeteksi antibodi infeksi hepatitis virus C (sensitivitas mendekati 99%).
ELISA generasi ketiga telah dilakukan pada tahun 1994 dengan penambahan NS-5, terbukti anti HCV generasi ketiga lebih sensitif dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tes ini memakai serum atau plasma yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi dengan bead yang telah dilapisi dengan antigen HCV. Bila terdapat antibodi didalam serum, maka immunoglobulin penderita akan terikat dengan bead tadi dan dapat dideteksi.
2. Recombinant Immunoblot Assay (RIBA).
Suatu tes terhadap protein virus C hepatitis yaitu dengan cara Recombinant Immunoblot Assay (RIBA) yang prinsipnya adalah suatu immunoelektroforesis untuk mendeteksi antibodi virus C hepatitis.
RIBA berupa strip Nitrocellulose yang mengandung pita-pita (bands) yang dilapisi antigen-antigen spesifik dan kemudian direaksikan dengan serum pasien. a.RIBA 1. RIBA 1 menggunakan antigen rekombinan C 1003, 5-1-1 dan superoxide dismutase (SOD), suatu enzim untuk mempertinggi efisiensi cloning. RIBA 1 dilaporkan lebih sensitif dan lebih spesifik dari ELISA 1.
b. RIBA 2. RIBA 2 menggunakan antigen rekombinan C 1003, 5-1-1, SOD, C-33c dan C-22. RIBA 2 lebih sensitif (sensitifitas 98%) dan lebih spesifik dari RIBA 1.
Penambahan antigen rekombinan C-33c dan C22 pada RIBA 2 ternyata mempertinggi sensitifitas.
c. RIBA 3.
RIBA 3 menggunakan 2 macam antigen yaitu antigen Sinthetic peptides C 100-3 dan C-22 dan antigen rekombinan C-33c dan NS-5. RIBA 3 dilaporkan lebih sensitif dari
RIBA 2 karena penambahan sinthetic peptides.
(Wibisono, 2000).

Walaupun RIBA lebih spesifik dari ELISA, RIBA bukan merupakan “True Confirmation Test” karena menggunakan antigen yang sama seperti yang digunakan pada tes ELISA, terutama C 100-3. Lebih tepat bila tes RIBA disebut sebagai “Supplemental Test”.
Sebenarnya Anti HCV baru positif sekitar 15 minggu setelah infeksi terjadi, sehingga mengakibatkan Hepatitis C akut jarang terdiagnosis dan diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan HCV RNA dengan metode PCR pada permulaan penyakit. Anti HCV pada umumnya akan menghilang dengan sembuhnya penyakit. Kurang lebih 70-85% hepatitis C akut akan berkembang menjadi hepatitis C kronik, dan pada keadaan ini Anti-HCV tidak akan menghilang.
Sebelum dilakukan uji saring, Anti HCV terdapat pada 80 –90% penderita hepatitis pasca transfusi. Perjalanan penyakit Hepatitis C yang cenderung menjadi sirosis hati dan Karsinoma hepatoseluler membuat uji saring darah donor sangat berguna karena dapat menurunkan kejadian hepatitis C sebanyak 50 – 80%. (Zuraida , 2000).

Tes penyaring untuk hepatitis C perlu dilakukan pada:
a. Penderita yang pernah mendapat transfusi darah atau produk darah sebelum adanya ELISA generasi kedua.
b. Penderita haemofilia.
c. Pasien yang telah di hemodialisis.
d. Anak dari ibu penderita hepatitis C.
e. Pernah atau masih menggunakan obat-obat intravena.
f. Donor transplantasi organ maupun jaringan. Menurut Consensus Statement EASL, 1999.
g. Tes ELISA merupakan tes yang terbaik untuk penyaring karena mudah dilakukan dan tidak terlalu mahal. Hasil tes dapat dipercaya pada kebanyakan pasien immunokompeten yang mereplikasi hepatitis C virus. Tes ini kurang sensitif pada pasien hemodialisis dan immunokompromais. Pada uji saring bank darah positif palsu bisa terjadi pada 25% donor dan perlu dilakukan supplemental test seperti RIBA. Apabila perlu maka dilanjutkan dengan HCV RNA kualitatif untuk konfirmasi Anti HCV yang positif tersebut.

Pada populasi risiko tinggi dimana diduga menderita HCV, ELISA yang positif harus dikonfirmasi dengan tes RNA kualitatif.
Pada pasien dengan hepa-titis akut, tes ELISA harus dila-kukan dulu. Kalau tes hepatitis A dan B negatif, maka harus di-lakukan tes HCV RNA kua-litatif.
Pada pasien hepatitis kronis tanpa diketahui sebabnya dengan ELISA negatif terutama pasien hemodialisis dan immunokompromais, harus dilakukan tes HCV RNA.
Sebenarnya terdapat dua macam anti HCV, yaitu IgM Anti HCV dan IgG Anti HCV. Selama infeksi HCV akut, antibodi yang pertama terdeteksi adalah IgM Anti HCV yang kemudian akan berkurang dengan timbulnya IgG Anti HCV. Namun IgM Anti HCV seringkali menetap apabila infeksi menjadi kronis dan ini menandakan adanya replikasi aktif dari virus. (Setiabudi, 1996).
Peneliti lain menyatakan bahwa kepentingan pemeriksaan IgM Anti HCV masih diragukan karena pada kenyataannya IgM Anti HCV ditemukan pada 50– 93% Hepatitis C Akut tetapi juga pada 50–70% penderita Hepatitis C Kronis.
Oleh karena itu IgM Anti HCV tidak dapat dipakai sebagai petanda serologis yang dapat dipercaya pada infeksi Hepatitis C Akut. (Pawlotsky,
1999).

C. Tes Konfirmasi.
Pemeriksaan HCV RNA. Kalau pemeriksaan Anti HCV merupakan pemeriksaan antibodi, maka pemeriksaan antigen dilakukan dengan memeriksa HCV-RNA yang dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode biologi molekuler seperti PCR dan branched-DNA (b-DNA). PCR merupakan metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi target RNA atau DNA. Dalam hal ini sejumlah kecil RNA/DNA virus diperbanyak terlebih dahulu sebelum dideteksi, sehingga metode ini sangat sensitif.
b-DNA merupakan metode pemeriksaan berdasarkan amplifikasi signal yang dihasilkan. Dengan adanya molekul penguat (b-DNA), maka signal yang dideteksi akan diperkuat.
Manfaat pemeriksaan
HCV RNA diantaranya adalah untuk menentukan tingkat aktivitas penyakit secara kuantitatif pada penderita hepatitis C kronis, membantu menentukan prognosis setelah pengobatan dengan α-interferon, mengukur respon penderita hepatitis C kronis terhadap pengobatan αinterferon dan merupakan pemeriksaan tambahan terhadap pemeriksaan fungsi hati, sejarah klinis dan studi serologis dalam evaluasi hepatitis C.
Satu-satunya cara untuk menentukan adanya viremia adalah dengan deteksi HCV-RNA menggunakan cara Reversed Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Ca
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2025 I Love Translation. All reserved.

E-mail: