Opposition to the Australian-backed

Opposition to the Australian-backed mining interests of
Papua New Guinea in Bougainville grew after 1988 into a
full-fl edged independence movement led by the Bougainville
Revolutionary Army (BRA). War broke out in 1989 when
the BRA leader declared independence from Papua New
Guinea. Papua New Guinea responded with an economic
blockade around Bougainville to prevent supplies from
reaching the rebels, who salvaged World War II–era weapons
and ammunition to fi ght superior troops. In a decade of
fi ghting, Bougainville’s 200,000 people suffered huge losses,
with nearly 20,000 killed and 40,000 left homeless. A 1998
cease-fi re fi nally brought to an end the longest confl ict in the
Pacifi c since World War II. Bougainville remains a part of
Papua New Guinea but has been granted greater autonomy.

Hasil (Bahasa Indonesia) 1:

Oposisi terhadap kepentingan pertambangan Australia-backed
Papua Nugini di Bougainville tumbuh setelah 1988 ke
penuh-fl beringsut gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Bougainville
tentara revolusioner (BRA). Perang pecah pada tahun 1989 ketika
pemimpin BRA memproklamasikan kemerdekaan Papua New
Guinea. Papua Nugini menjawab dengan ekonomi
blokade di sekitar Bougainville untuk mencegah pasokan dari
mencapai para pemberontak, yang diselamatkan senjata Perang Dunia II–era
dan amunisi untuk fi ght unggul pasukan. Dalam satu dekade dari
fi ghting, Bougainville's 200.000 orang menderita kerugian besar,
dengan hampir 20.000 tewas dan 40.000 tempat tinggal. 1998
berhenti-fi kembali fi nally ditamatkan untuk ict confl terpanjang di
Pacifi c sejak Perang Dunia II. Bougainville tetap menjadi bagian dari
Papua Nugini tetapi telah diberikan otonomi yang lebih besar.